Laman

Minggu, 09 Desember 2012

Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Perlindungan tanaman merupakan bagian dari sistem budidaya tanaman yang bertujuan untuk membatasi kehilangan hasil akibat serangan OPT menjadi seminimal mungkin, sehingga diperoleh kwalitas dan kwantitas produksi yang baik. Sejak Pelita III pemerintah telah menetapkan sistem PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiapprogram perlindungan tanaman, dasar hukum PHT tertera pada GBHN II dan GBHN IV serta Inpres 3/1986 yang kemudian lebih dimantapkan melalui UU No.12/1992 tentang sistem Budidaya Tanaman ( Anonimous, 1994). 

Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional, yang sangat utama dalam manggunakan pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat dan berlebihan, dengan cara ini dapat meningkatkan biaya produksi dan mengakibatkan dampak samping yang merugikan terhadap lingkungan dan kesehatan petani itu sendiri maupun masyarakat secara luas.

Secara ekonomi kebijakan pemerintah sebelum tahun 1989 memberikan subsidi yang besar untuk Pestisida sebesar antara 100 – 150 juta US$ atau sekitar 150 milyar rupiah pertahun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kembali efisiensi dan efektifitas pengendalian serta untuk membatasi pencemaran lingkungan maka kebijakan dan pengendalian secara konvensional harus dirubah menjadi pengendalian berdasarkan konsep dan prinsip PHT. Kemudian secara bertahap subsidi pestisida di cabut, dan baru tahun 1989 subsidi tersebut sepenuhnya dicabut, metoda yang cukup baik dan mudah dilaksanakan melalui pola Sekolah Lapang PHT ( SLPHT) dengan menganut pola pendidikan orang dewasa yaitu belajar dari pengalaman sendiri langsung di lapang (Anonimous,2004).

Konsep dan Strategipenerapan PHT
PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agro-ekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai sasaran teknologi PHT adalah : 1) produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan (Anonimous, 2004 ).

Tiga komponen komponen dasar yang harus dibina, yaitu : Petani,Komoditi dasil pertanian dan wilayah pengembangan dimana kegiatan pertanian berlangsung, disamping pembinaan terhadap petani diarahkan sehingga menghasilkan peningkatan produksi serta pendapatan petani, pengembangan komoditi hasil pertanian benar-benar berfungsi sebagai sektor yang menghasilkan bahan pangan, bahan ekspor dan bahan baku industri, sedangkan pembinaan terhadap wilayah pertanian ditujukan agar dapat menunjang pembangunan wilayah seutuhnya dan tidak terjadi ketimpangan antar wilayah ( Kusnadi, 1980).

Banyak persoalan yang dihadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan produksi dan permasalahan hasil pertanian maupun yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, selain merupakan uasaha bagi petani, pertanian sudah merupakan bagian dari kehidupannya sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek yang lainya juga merupakan peranan penting dalam tindakan-tindakan petani, dengan demikian dari segi ekonomi pertanian berhasil atau tidaknya produksi dan tingkat harga yang diterima oleh petani untuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani itu sendiri (Mubyarto, 1986).

Sejalan dengan kemajuan teknologi maupun perkembangan struktur sosial, ekonomi dan budaya teknologi baru di pedesaan dapat membantu warga desa dalam meningkatkan usahataninya dalam arti memperbesar hasil, meningkatkan pengelolaan untuk mendapatkan atau nafkah dalam usahataninya tersebut atau dalam usahatani lainnya, sedangkan teknologiadalah merupakan pengetahuan untuk menggunakan daya cipta manusia dalam menggali sumber daya alam dan memanfatkanya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka ( Anonimous,1988).

Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
PHT adalah upaya yang terencana dan terkoordinasi untuk melembagakan penerapan prinsip-prinsip PHT oleh petani dalam usahataninya serta memasyarakatkan pengertian-pengertian PHT dikalangan masyarakat umum dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

“Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dengan menggunakan salah satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalia yang dikembangkan dalam satu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan erusakan lingkungan hidup” (Anonimous, 1994) 
Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah :
a.Menjamin kemantapan swasembada pangan.
b.Menumbuhkan Kreativitas, dinamika dan kepemimpinan petani.
c.Terselenggaranya dukungan yang kuat atas upaya para petani dalam menyebarluaskan penerapan PHT sehingga dapat tercipta pemabngunan pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Usaha pokok Pengendalian Hama Terpadu (PHT):
1.Mengembangkan sumberdaya manusia antara lain menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal bagi petani dengan pola Sekolah Lapangan PHT, dan pelatihan bagi petugas terkait yakni Pengamat Hama dan Penyakit (PHP), Penyuluh Pertanian dan Instansi terkait lainya.
2.Mengadakan studi-studi lapangan dan penelitian yang memberikan dukungan atas strategi, pengembangan metode, dan penerapan PHT untuk tanaman padi dan palawija lainya.
3.Memperkuat kebijaksanaan, pengaturan dan penyelenggaraan pengawasan terhadap pengadaan, pembuatan, peredaran serta pemakaian pestisida yang berwawasan lingkungan.
4.Memasyarakatkan pengembangan konsep PHT di Indonesia.

SORGUM UNTUK PENGANEKARAGAMAN PANGAN


Fokus pembangunan pertanian untuk ketahanan pangan yang bertumpu pada beras, telah menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap komoditas beras. Rata-rata konsumsi beras nasional sebagai makanan pokok dan penunjang hingga saat ini mencapai 139,15 kg perkapita pertahun (Ditjen Tanaman Pangan, 2010), sehingga pemerintah harus menyediakan beras sebanyak 26-29 juta ton per tahun.
Pesatnya laju pertumbuhan penduduk Indonesia, kebutuhan beras juga semakin meningkat. Tingginya konsumsi beras dapat berakibat pada rentannya ketahanan pangan masyarakat bila kemampuan penyediaan beras terganggu.
Persoalan penyediaan beras saat ini menjadi semakin kompleks. Alih fungsi lahan yang terus berlanjut dan adanya anomali iklim, peningkatan produksi beras juga semakin sulit. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2010 menunjukkan sekitar 81.176 hektar lahan pertanian produktif di Pulau Jawa telah berlih fungsi menjadi area pemukiman dan industri. Adanya anomali iklim juga menyebabkan terjadinya penuruan luas panen, karena kekeringan dan ledakan hama seperti wereng yang telah terjadi pada tahun 2010, sehingga berdampak pada penurunan produktivitas dan produksi padi.
Fakta ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan nasional sangat riskan jika hanya mengandalkan satu komoditas, yaitu beras. Oleh karena itu, upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian, tanaman pohon atau biji-bijian, menjadi sangat penting. Salah satu komoditas biji-bijian potensial sebagai sumber karbohidrat adalah Sorgum.
Sorgum sesungguhnya merupakan komoditas tanaman serealia yang sudah lama ada di Indonesia, namun pemanfaatannya terbatas hanya sebagai tanaman sela. Di dunia tanaman sorgum menempati urutan kelima, setelah gandum, beras, jagung, dan barley. Sorgum merupakan komoditas sumber karbohidrat yang cukup potensial karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, yaitu sekitar 73 g/100 g bahan (Tabel 1).
Sebagai bahan pangan  biji sorgum dapat dikonsumsi langsung dengan cara ditanak seperti beras (nasi). Sorgum juga dapat dibuat tepung untuk berbagai jenis kue (kering dan basah), mie. Kelebihan dari tepung sorgum adalah memiliki nilai gizi yang lebih tinggi daraipada beras, jagung dan singkong.
Kelebihan lain dari tepung sorgum adalah daya kembangnya yang sangat tinggi dan mudah larut dalam air. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan tepung sorgum dapat menggantikan tepung gandum yang selama ini harus mengimpor.
Tanaman sorgum memiliki daya adaptasi yang luas dan memerlukan jumlah air yang relatif lebih sedikit dalam pertumbuhannya. Budidaya sorgum tidak memerlukan input tinggi dan dapat tumbuh pada lahan suboptimal yang tidak dapat ditanami oleh tanaman lainnya, sehingga tidak akan terjadi persaingan penggunaan lahan dengan komoditas tanaman pangan lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, sorgum sangat potensial sebagai alternatif sumber pangan non beras untuk penganekaragaman pangan dan  sebagai pengganti tepung gandum. Agar dapat berkembang dan dapat mendukung upaya pemerintah dalam ketahanan pangan diperlukan dukungan dari pemerintah baik pusat maupun daerah menyangkut kebijakan dan fasilitas sarana/prasarana penunjang. Selain itu, keterkaitan antara pemerintah, petani produsen, dan industri pangan sangat diperlukan. Apakah potensi sorgum tersebut akan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan?

MENGOLAH SAMPAH ORGANIK MENJADI BIOETANOL


Kini sampah organik seperti limbah sayuran dan buah-buahan bisa diolah menjadi bahan bakar bioetanol. Antonious Lulut Iswanto, pengusaha asal Sawangan Depok  bisa mengolah sampah-sampah organik yang tak terpakai dari Pasar Induk Kramat Jati menjadi Bioetanol. Harga bioetanol berkadar 50% sekitar Rp. 5000 per liter. “Melalui usaha ini saya mendapatkan omzet kira-kira 12 juta per bulan,” kata Antonious saat dihubungi Sinar Tani.
Antonious mengatakan awal mula ide mengolah sampah menjadi bioetanol karena melihat banyaknya tumpukan sampah yang sama sekali tidak dimanfaatkan kembali di Pasar Induk Kramat Jati tersebut. “Dari setiap truk yang mengangkut buah, sebanyak 30% dari isi truk tersebut pasti menjadi sampah. Melihat hal yang mubazir seperti itu, saya dan rekan-rekan saya mencari cara bagaimana mengolah kembali sampah buah ini. Akhirnya kita putuskan untuk mengolahnya menjadi bioetanol karena masih terbilang langka”, jelas Antonious.
Dari uji coba yang dilakukan, dapat dihasilkan bioetanol dengan kandungan sekitar 85%.”Kami lakukan berkali-kali dengan mesin khusus untuk memproses selulosa menjadi glukosa. Kemudian melalui proses pembakaran dihasilkan bioetanol”, ujarnya.
Antonious mengolah bioetanol tersebut dalam ruangan yang mampu menampung 100 drum plastik yang tertutup rapat. Didalam drum yang masing-masing berkapasitas 100 liter tersebut berisi cairan fermentasi yang berasal dari sampah. “Saya mengangkut sebanyak 12 drum sampah setiap hari dari pasar induk Kramatjati ke lokasi produksi. Terdiri dari sampah semangka, pepaya, dan jeruk,” kata pria yang juga berprofesi sebagai guru aerobic di Senayan Sport Center ini.
Kemudian sampah-sampah tersebut digiling termasuk kulit buahnya secara terpisah. Setiap sampah buah tidak dicampur dengan sampah yang lain. Misalnya sampah semangka digiling hanya bersama semangka, dan jeruk dengan jeruk. Kemudian cairan hasil penggilingan itu ditempatkan pada drum.  Cairan itu akan difermentasi dalam waktu satu minggu. “Setiap drum hanya berisi satu jenis cairan buah,” kata Antonius.
Kemudian tambahkan 9 keping ragi, 2 sendok makan urea, dan 1 sendok makan NPK dalam 100 liter cairan fermentasi. “Khusus untuk cairan fermentasi jeruk saya menambahkan air bersih dengan rasio 1:1,” kata Alumni STIE Perbanas ini.
Cairan fermentasi kemudian disuling menjadi bioetanol. Sulingan pertama menghasilkan bioetanol berkadar 40-50%. Bioetanol ini bisa dipakai untuk bahan bakar kompor. Bila hasil sulingan pertama itu disuling sekali lagi maka akan menghasilkan bioetanol berkadar 90%. “Saya menghasilkan 80-100 liter bioetanol berkadar 50% setiap hari kecuali hari minggu sehingga total produksi bisa mencapai sekitar 2400 liter per bulan,” kata Antonius.


KONSEP PERTANIAN BERKELANJUTAN

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kesanggupan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka”.

Pertanian Berkelanjutan adalah keberhasilan dalam mengelola sumberdaya untuk kepentingan pertanian dalam memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumberdaya alam. Pertanian berwawasan lingkungan selalu memperhatikan nasabah tanah, air, manusia, hewan/ternak, makanan, pendapatan dan kesehatan. Sedang tujuan pertanian yang berwawasan lingkungan adalah mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah; meningkatkan dan mempertahankan basil pada aras yang optimal; mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman hayati dan ekosistem; dan yang lebih penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan penduduk dan makhluk hidup lainnya. Sistem pertanian berkelanjutan harus dievaluasi berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria, antara lain:

  1. Aman menurut wawasan lingkungan, berarti kualitas sumberdaya alam dan vitalitas keseluruhan agroekosistem dipertahankan/mulai dari kehidupan manusia, tanaman dan hewan sampai organisme tanah dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dicapai apabila tanah terkelola dengan baik, kesehatan tanah dan tanaman ditingkatkan, demikian juga kehidupan manusia maupun hewan ditingkatkan melalui proses biologi. Sumberdaya lokal dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya kehilangan hara, biomassa dan energi, dan menghindarkan terjadinya polusi. Menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya terbarukan.
  2. Menguntungkan secara ekonomi, berarti petani dapat menghasilkan sesuatu yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri/ pendapatan, dan cukup memperoleh pendapatan untuk membayar buruh dan biaya produksi lainnya. Keuntungan menurut ukuran ekonomi tidak hanya diukur langsung berdasarkan hasil usaha taninya, tetapi juga berdasarkan fungsi kelestarian sumberdaya dan menekan kemungkinan resiko yang terjadi terhadap lingkungan.
  3. Adil menurut pertimbangan sosial, berarti sumberdaya dan tenaga tersebar sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi, demikian juga setiap petani mempunyai kesempatan yang sama dalam memanfaatkan lahan, memperoleh modal cukup, bantuan teknik dan memasarkan hasil. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama berpartisipasi dalam menentukan kebijkan, baik di lapangan maupun dalam lingkungan masyarakat itu sendiri.
  4. Manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, berarti tanggap terhadap semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) prinsip dasar semua bentuk kehidupan adalah saling mengenal dan hubungan kerja sama antar makhluk hidup adalah kebenaran, kejujuran, percaya diri, kerja sama dan saling membantu. Integritas budaya dan agama dari suatu masyarakat perlu dipertahankan dan dilestarikan.
  5. Dapat dengan mudah diadaptasi, berarti masyarakat pedesaan/petani mampu dalam menyesuaikan dengan perubahan kondisi usahatani: pertambahan penduduk, kebijakan dan permintaan pasar. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan masalah perkembangan teknologi yang sepadan, tetapi termasuk juga inovasi sosial dan budaya.
Suatu konsensus telah dikembangkan untuk mengantisipasi pertanian berkelanjutan. Sistem produksi yang dikembangkan berasaskan LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) yang kalau diterjemahkan sebagai (Pertanian Berkelanjutan/Lestari, Masukan Dari Luar Usahatani Rendah). Konsep ini dapat dijabarkan menjadi beberapa rakitan operasional, antara lain: meningkatkan produktivitas, melaksanakan konservasi energi dan sumberdaya alam, mencegah terjadinya erosi dan membatasi kehilangan unsur hara, meningkatkan keuntungan usahatani, memantapkan dan ketenlanjutan konservasi serta sistem produksi pertanian.

Konservasi merupakan faktor yang penting dalam pertanian berwawasan lingkungan. Konservasi sumberdaya terbarukan berarti sumberdaya tersebut harus dapat difungsikan secara berkelanjutan (continous). Sekarang kita sudah mulai sadar tentang potensi teknologi, kerapuhan lingkungan, dan kemampuan budi daya manusia untuk merusak lingkungan tersebut. Suatu hal yang perlu dicatat bahwa ketersediaan sumberdaya adalah terbatas.

Pada dasarnya konservasi lahan diarahkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hidrologis, menjaga kelestarian sumber air, meningkatkan sumber daya alam serta memperbaiki kualitas lingkungan hidup yang pada gilirannya meningkatkan produksi dan  pendapatan petani melalui usaha tani yang berkelanjutan.

Pola usaha tani konservasi merupakan suatu bentuk pengusahaan lahan yang mengkombinasikan teknik konservasi secara mekanik/sipil teknik, vegetatif maupun kimiawi .

Metode mekanik/sipil teknik, suatu bentuk metode konservasi tanah dengan menggunakan sarana fisik (tanah, batu dan lain-lain ) sebagai sarana bangunan konservasi tanah. Metode ini berfungsi untuk: a). memperlambat aliran permukaan, b). menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan  yang tidak merusak. 

Beberapa cara yang diajurkan: (1) pengolahan tanah minimum, (2) pengolahan tanah menurut kontur, (3) pembuatan guludan dan teras, (4) pembuatan terjunan air, (5) pembuatan rorak / saluran buntu.

Metode Vegetatif: suatu metode konservasi tanah dengan menggunakan tanaman atau tumbuhan dan seresah untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan erosi. Metode ini berfungsi :

  1. Melindungi tanah terhadap daya rusak butir-butir hujan yang jatuh,         
  2. Melindungi tanah terhadap daya perusahan aliran air,
  3. Memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahan air yang mempengaruhi besarnya aliran permukaan,
  4. Memperbaiki struktur dan kesuburan tanah.
Beberapa cara yang digunakan: sistem pertanaman lorong, strip rumput, tanaman penutup tanah, teras gulud, teras bangku, rorak, embung, mulsa, dan dam parit.

Sedangkan metode kimia dimaksudkan untuk memperbaiki struktur tanah melalui pemberian bahan kimia tanah (soil Conditioner).

PERTANIAN ORGANIK

Pertanian ramah lingkungan salah satunya adalah dengan menerapkan pertanian organik. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa genetik, menekan pencemaran udara, tanah, dan air. Di sisi lain, Pertanian organik meningkatkan kesehatan dan produktivitas di antara flora, fauna dan manusia. Penggunaan masukan di luar pertanian yang menyebabkan degradasi sumber daya alam tidak dapat dikategorikan sebagai pertanian organik. Sebailknya, sistem pertanian yang tidak menggunakan masukan dari luar, namun mengikuti aturan pertanian organik dapat masuk dalam kelompok pertanian organik, meskipun agro-ekosistemnya tidak mendapat sertifikasi organik. Bila kita sepenuhnya mengacu kepada terminologi (pertanian organik natural) ini tentunya sangatlah sulit bagi petani untuk menerapkannya, oleh karena itu pilihan yang dilakukan adalah melakukan pertanian organik regenaratif, yaitu pertanian dengan perinsip pertanian disertai dengan pengembalian ke alam masukan-masukan yang berasal dari bahan organik.

Pengelolaan pertanian yang berwawasan lingkungan dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, lestari dan menguntungkan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang. Pemilihan komoditas dan areal usaha yang cocok merupakan kunci dalam pelaksanaan pembangunan pertanian berkelanjutan, komoditas harus yang menguntungkan secara ekonomis, masyarakat sudah terbiasa membudidayakannya, dan dibudidayakan pada lahan yang tidak bermasalah dari segi teknis, ekologis dan menguntungkan secara ekonomis. 

Beberapa perinsip dasar yang perlu diperhatikan adalah: (1) pemanfaatan sumberdaya alam untuk pengembangan agribisnis hortikultura (terutama lahan dan air) secara lestari sesuai dengan kemampuan dan daya dukung alam, (2) proses produksi atau kegiatan usahatani itu sendiri dilakukan secara akrab lingkungan, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif dan eksternalitas pada masyarakat, (3) penanganan dan pengolahan hasil, distribusi dan pemasaran, serta pemanfaatan produk tidak menimbulkan masalah pada lingkungan (limbah dan sampah), (4) produk yang dihasilkan harus menguntungkan secara bisnis, memenuhi preferensi konsumen dan aman konsumsi. Keadaan dan perkembangan permintaan dan pasar merupakan acuan dalam agribisnis hortikultura ini.

Pertanian Organik Modern
Beberapa tahun terakhir, pertanian organik modern masuk dalam sistem pertanian Indonesia secara sporadis dan kecil-kecilan. Pertanian organik modern berkembang memproduksi bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan sistem produksi yang ramah lingkungan. Tetapi secara umum konsep pertanian organik modern belum banyak dikenal dan masih banyak dipertanyakan. Penekanan sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida sintetis. Dengan makin berkembangnya pengetahuan dan teknologi kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia dan lain-lain, pertanian organik terus berkembang.

Dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida maupun bahan kimia lainnya.

Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik yang tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen. Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:

  1. Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran, maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait.
  2. Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh SKAL ataupun IFOAM. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.
Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem pertanian organik di Indonesia antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman rempah dan obat, serta peternakan. Menghadapi era perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian organik Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke pasar internasional. Komoditas pertanian organik yang akan dikembangkan dan memiliki potensi pasar yang baik, yaitu: hortikultura sayuran (brokoli, kubis merah, petsai, caisin, cho putih, kubis tunas, bayam daun, labu siyam, oyong dan baligo. Buah: nangka, durian, salak, mangga, jeruk dan manggis), perkebunan (kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili dan kopi), rempah dan obat (Jahe, kunyit, temulawak, dan temu-temuan lainnya), dan peternakan (susu, telur dan daging). 

Kalender Tanam Mesti Terap


Perubahan iklim merupakan kejadian alam yang dapat terjadi di tingkal global, regional,maupun lokal, yang umumnya berdampak terhadap perubahan pola tanam danpenurunan produksi. “pranatamangsa” dan “Kertamasa” yang dalam sejarah danbudaya bercocok tanam dijadikan sebagai pemandu penerapan pola tanam tidakdapat dipedomani sepenuhnya karena pergeseran awal musim akibat perubahan iklim.
Setiap tahun petani dihadapkan kepada perubahan iklim yang ekstrim, baik kering (El-Nino)maupun basah (La-Nina). Kekeringan pada musim hujan menyebabkan tanaman kekeringan sebelum sempat tumbuh. Pada beberapa kasus, akibat fenomena tersebut terjadi perkembangan hama dan penyakit yang menyebabkan tanaman tidak jarang mengalami gagal panen.
Perubahan pola curah hujan tersebut harus menjadi perhatian dalam mengatur kalender dan pola tanam untuk menjaga kesinambungan produksi pertanian menuju kemandirian pangan nasional.Oleh karena itu perlu dibuat peta kalender tanam.
Apakah Peta Kalender Tanam (katam) itu?
                Peta Kalender Tanam (Katam) adalah peta yang menggambarkan potensi pola waktu tanam untuk tanaman pangan, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumberdaya iklim dan air. Peta ini secara khusus disusun untuk keperluan program ketahanan pangan. Peta Kalender Tanam diharapkan juga menjadi salah satu informasi yang operasional dalam menghadapi anomaly dan perubahan iklim.
                Untuk mengantisipasi perubahan iklim yang tidak menetu dan tidak mudah diprediksi, maka peta katam tidak hanya disusun berdasarkan kondisi periode tanam yang dilakukan oleh petani saat ini, tetapi juga disusun berdasarkan tiga kejadian iklim yaitu tahun basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK). Dengan demikian kalender dan pola tanam yang akan diterapkan dapat disesuaikan denganmasing-masing kondisi iklim tersebut.
Manfaat dan Sasaran
(1)   Menentukan waktu tanam setiap musim (MH,MKI, danMKII) berdasarkan kondisi iklim (La-Nina,normal, atau El-Nino).
(2)   Menentukan pola tanam secara spasial dan tabularpada skala kecamatan.
(3)   Menetukan rotasi tanaman pada setiap kecamatanberdasarkan potensi sumberdaya iklim dan air.
(4)   Mendukung perencanaan tanam, khususnya tanamanpangan.
(5)   Mengurangi kerugian petani sebagai akibat burukpergeseran musim.

Peta Katam dibuat sederhana agar mudahdipahami oleh para penyuluh, petugas dinas pertanian,kelompok tani dan petanidalam mengatur kalender dan pola tanam sesuai dengan kondisi iklim.
Keunggulan
(1)   Dinamis, karena disusun berdasarkan beberapakondisi iklim.
(2)   Operasional pada skala kecamatan.
(3)   Spesifik lokasi, karena mempertimbangkan kondisisumberdaya iklim dan air setempat
(4)   Mudah diperbaharui (updatable)
(5)   Mudah dipahami oleh Pengguna, karena disusunsecara spasial dan tabular dengan uraian yang jelas.
Target
                PetaKatam disusun dalam bentuk Atlas skala 1:250.000. Dalam penggunaannya, petakalender tanam perlu dilengkapi dengan prediksi iklim, agar diketahui kejadianiklim yang akan datang, sehingga perencanaan pertanian dapat disesuaikan dengankondisi sumberdaya iklim dan air. Seandainya diperlukan informasi lebih lanjutboleh menghubungi BAlit Agroklimat dan Hidrologi, jl. Tentara Pelajar IA BogorTelp/Fax 0251-312760.